IRONIS, PEMDA MBD GANDENG APARAT BONGKAR RUMAH PENDUDUK

  • Whatsapp
IRONIS, PEMDA MBD GANDENG APARAT BONGKAR RUMAH PENDUDUK

Tiakur,Wartamaluku.com- Adat ialah kebiasaan yang telah dilakukan secara turun temurun dari zaman leluhur sampai saat ini. Sedangkan hukum adat adalah aturan tidak tertulis yang di akui oleh Masyarakat Hukum Adat tertentu. Olehnya itu negara mengakui hak-hak masyarakat hukum adat yang masih ada, sepanjang tidak bertentangan dengan prinsip NKRI. hal ini dituangkn dalam pasal 18B Ayat 2 UUD 1945. Selain itu, di dalam membuat kebijakan pemerintah pusat atau pemerintah daerah tidak bisa mengesampingkan nilai-nilai adat dan budaya.

Namun realitas di Tiakur Maluku Barat Daya berbanding terbalik di mana pemda MBD dengan segala kekuasaannya menyeroboti dan menggusur lahan warga tanpa ijin. Pemerintah Kabupaten Maluku Barat Daya dinilai sangat represif dalam mengatasi persoalan tanah tiakur. Hal ini terlihat saat pemda MBD bersama aparat TNI, POLRI dan BRIMOB membongkar rumah salah satu warga negeri Toinaman yang berada di luar areal lahan milik pemda. Peristiwa pembongkaran yang dilakukan sekitar pada hari rabu 14 September 2016 pukul 10 :15 WIT tersebut berlangsung alot.

Ketegangan dan saling adu mulut antara warga setempat dan petugas pun tak terelakan saat pembongkaran terjadi. Beberapa ibu – ibu yang berada di sekitar lokasi terpaksa melakukan aksi telanjang dihadapan ratusan aparat yang di pimpimpin assisten lll setda MBD Drs. Jhon Joltuwu namun tak menyurutkan niat aparat satpol PP yang melakukan pembongkaran terhadap dua buah pondasi milik warga dan dikawal ketat aparat TNI dan Polri.

Poli Rehi salah satu warga yang pondasi rumahnya dibongkar petugas satpol PP, mengaku kecewa dengan sikap pemda MBD yang bertindak represif dalam penyelesaian masalah.

Dirinya membeberkan kronologis pembongkaran yang sangat tidak manusiawi dimana pembongkaran tersebut dinilainya tidak mendasar karena lokasi pemukiman warga negeri Toinaman itu sudah berada diluar area 350 hektare yang telah dihibahkan oleh warga setempat kepada pemerintah MTB dalam rangka menjemput hadirnya kabupaten MBD kala itu beber Poli.

“Kalau kami membangun di atas 350 hektare milik pemda, itu kami berdosa karena kami kan sudah hibah tapi kenapa harus kami bangun lagi..? Tapi ini kan sudah di luar areal pemda. Kenapa kami diperlakukan seperti musuh..,?” tanya dia. Apalagi lanjut dia bahwa saat melakukan pembongkaran, pemda tidak mengantongi surat ijin/perintah pembongkaran tapi hanya berdasarkan perintah bupati.

Yang anehnya, saat pembongkaran berlangsung, ada satpol PP yang teriak bahwa perintah bupati harus bongkar yang “melawan” (saat pilkada) beber Poly”. Kita ini bukan teroris atau penduduk liar, kami bayar pajak dan punya identitas kanapa kami diperlakukan seperti ini kesalnya.

Sementara itu, kesempatan yang sama salah satu Tokoh adat/masyarakat negeri Toinaman Geradus Tanpatti yang dikonfirmasi media ini mengaku mengutuk keras peristiwa pembongkaran tersebut. Menurutnya, pemda tidak boleh semena-mena menggusur rumah warga apalagi tanah itu merupakan hak ulhayat kami.

Lagipula hingga pembongkaran dilakukan, tidak ada sedikitpun pemberitahuan kepada kami masyarakat Toinaman tegas pria yang akrab disapa bapa gadu ini.

Apalagi lanjut dia bahwa,tanah tersebut sudah ditempati sejak jaman leluhur mereka dan pada saat joseph kam bawa injil masuk di P.Moa itu masuk di negeri kami (Toinaman) sehingga keaslian dan kelesetarian negeri Toinaman masih dijaga hingga saat ini dan kami yang menjaganya Jadi pemda jangan seenaknya menggusur kami cetusnya. Pembongkaran tersebut dilakukan pemerintah daerah dengan alasan areal tersebut akan dijadikan sebagai ruang terbuka hijau (RTH) padahal menurut warga setempat, areal tersebut tidak masuk lahan pemda 350 ha yang telah dihibahkan kepada pemda. Apalagi sudah ada penambahan 50 hektar lagi.

Pembongkaran yang berlangsung selama kurang lebih satu jam terpaksa di hentikan setelah dua orang anggota DPRD Kabupaten MBD Heri Lekipera dan Fritz Pera tiba di lokasi. Kedua anggota dewan ini mempertanyakan legitimasi aparat kepolisian yang berani bertindak menggusur rumah tanpa warga atas perintah bupati MBD.

Menurut kedua dewan ini, pemerintah daerah tidak boleh seenaknya menggusur warga dari hak ulhayat mereka. Apalagi tidak ada surat perintah penggusuran. Dan ini rakyat MBD sehingga sebagai wakil rakyat kami bertanggungjawab terhadap mereka. Ungkap Lekipera.

Menurutnya, pemerintah daerah segera menyelesaikan persoalan tapal batas dan hiba 350 Ha yang telah diberikan secara cuma-cuma oleh masyarakat Moa. Sehingga tidak lagi menimbulkan resistensi yang berkepanjangan antara pemerintah dan rakyatnya sendiri. Mestinya pemerintah melakukan mediasi secara persuasif bukan represif sehingga menimbulkan hal-hal yang tidak diinginkan, pinta dia. (WM-04J)

Related posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *